search poetry

Showing posts with label Cerber. Show all posts
Showing posts with label Cerber. Show all posts

Cerpen/Cerber - Gue Sayang Lo, Ca Pake Banget

cerpen,cerber,cerita pendek,cerita bersambung

Cerpen/Cerber - 

Gue Sayang Lo, Ca Pake Banget

Hari pertama di Malang. Caca asik menghirup udara segar di villa mereka. Villa mereka terdiri dari beberapa rumah kecil, dan dia bareng Amel dan STANZA satu rumah.

'Jadi inget waktu outbound di bandung sama Kka' pikirnya. Dia masih menghirup udara tersebut. Masuk melalui hidung dan keluar dari mulut. Terlihat Cakka sedang asik dengan bola basketnya di luar sana. Hari ini free day, bebas kemana saja. Tapi nanti malam akan ada jurit malam.

Cewek itu memasuki kamar kakaknya, dan melihat cowok itu dengan stanza lain masih tidur pulas. Dia langsung keluar dan minta toa. Tibatiba........

"WOOOYYY!!!! ADA TAYLOR SWIFT DI LOOOAAAARRRR!!!!!" Jeritnya dengan toa tersebut. Alhasil? STANZA meloncat!

"Mana2?" Sahut Eldwin. Raiga mengucek-ucek matanya. Rohan menguap. Sion menggaruk-garuk kepalanya. Dayat celingukan.
"Dihatimu! Udah pagi! Mandi sono!" Gertak Caca kayak mandor. STANZA langsung ambil handuk dan mandi jamaah (?).


"Meeelll!!! Cepetan! Gua mau mandi!" Sion menggedor-gedor pintu kamar mandi. Amel, yang di dalam, hanya diam.
"DIEM!" sahutnya. E buset! Ama pacar sendiri galak, Caca kaget. Dia menatap ngeri adiknya yang keluar kamar mandi sambil mendelik ke arah cowok itu. Sion dan Raiga masuk.

"Jan galak ama cowok lu, Mel!" Ujar Caca.
"Nah? Udh tau aku masih ganti baju udah digedor-gedor! Sebel!" Amel berkata sadis. 'Serah elo dek' pikir Caca pasrah.
***

"Adek lo udah ngikutin galak elo ye" komentar Sion saat sarapan.
"Ya elonya yang nyebelin! Gimana amel gak kesel? Udah tau masih ganti baju udah lo gedor2 kayak abis dikejer hantu!" Caca manyun.
"Tau Kak Sion! Sebel!" Amel manyun. Sion langsung mencubit kedua pipi cewek itu gemas. Membuat dia meronta-ronta. "Sakiiittt!!!". Caca hanya tertawa menatap mereka sambil mengaduk minumnya.


"Taman?" ajak Rohan kepada Caca. Yang disambut dengan anggukan dan senyuman cewek itu. Mereka ke taman Villa.

"Dingin. Gue jadi inget waktu dulu waktu outbound sama Kka. Pernah ke sini..kejar2an" Caca merengkuh dirinya sendiri dengan jaketnya. Masih jam 6 pagi.
"Dayat bilang, lupain aja semua masalah trus coba lo senyum dan nikmatin hidup" celetuk Rohan sambil menatap taman yang luas itu. Pikiran Caca melalang buana, di mana dia Cakka Obiet dan Shilla pernah main petak umpet di sebuah kebun teh, dan juga dirinya sendiri yang kaget melihat ulat sampai bersembunyi di belakang Cakka saking takutnya.
"Entah untuk yang ini gak bisa gue lupain, Han. Tapi lo make me feel better. Bukan kenapa-napa, gue jadi bisa mencoba seneng lagi" senyum Caca, sambil menatap mata Rohan di balik kacamata 'anak gaul'-nya.
"Hahaha. Thanks for that!" Rohan tersenyum. 'Kalo Cakka layaknya hantu yang terus2an gentayangin elo, gue rela untuk musnahin hantu itu'.
"Eh Rohan..." Panggil Caca dalam keheningan.
"Yaps?" Rohan menoleh.
"Lo suka siapa sih?" Tanya Caca. "Perasaan lo blom pernah curhat sama gue. Kata Day lo naksir anak sekolah kita".

'Lo nanya itu, Ca?! Lo gak sadar gue sayang banget sama elo? Aduh Ca plis gue gak bisa kasih tau elo di saat keadaan kayak gini!' pikiran Rohan berkecamuk. Apa yang harus dia bilang ke Caca? Jujur? Rohan antipati dengan jujur untuk menyatakan perasaan kalau cewek yang disuka terlihat tidak menaruh hati juga kepadanya.

"Eeenngg..gak ada kok" Rohan menggigit bibirnya, grogi. Caca hanya tersenyum jail, menunggu cowok itu menjawab.
"Shilla? Ify? Febby? Atau Gue? Ha...".
"Elo...". Caca berhenti tertawa, dan sekarang terkesiap mendengar pernyataan Rohan. Ntah dia harus mengambang di awan atau marah. Mengambang karena sepertinya dia juga menyukai Rohan, marah karena dia belum mau hatinya diisi siapapun sampai dia benar-benar melupakan Cakka.
"Are you sure, my bro?" Senyum Caca tipis. 'Sorry Ca...aduuhh' pikir Rohan, dan mengangguk seperti bersalah.
"Sorry, Ca. Gue tau, elo masih berusaha lupain Cakka. Gue ngerti. Gimana kalo kita sahabatan kayak dulu? Want it?" Rohan mengulurkan tangannya. Caca menatapnya dan terpaku di tempat. Dia merasa deja vu, bukan deja vu. Tapi dia pernah mengatakan hal yang sama kepada Cakka dulu.
"Iya. Kita sahabatan aja...dan gue gak bakal ngomongin Cakka lagi di depan lo, Han. I swear" Caca membentuk huruf V di tangannya.
***

"Rohan ama si Cuek mana?" Tanya Eldwin di depan Villa. Eldwin memang memberi julukan Si Cuek ke Caca, karena cewek itu benar-benar cuek.

"Di seneeeee!!!!!" Caca berteriak di depan pintu rumah villa mereka dan ngos-ngosan. Cewek itu lomba lari dengan Rohan dari taman Villa sampai rumah Villa mereka.
"Nah ini dia! Kemana aja lo berdua? Nih minum!" Eldwin melempar 2 botol aqua kepada Rohan dan Caca yang ngos-ngosan. "Pacaran ye?".
"Wah kak, jangan bilang pacaran. Si kacamata kece ngefly tuh wkwkwk" Caca tertawa. Rohan hanya menyenggol bahu Caca.
"Apa lagi nih! Tau deh tau deh yang seneng CacaLopers tambah satu hiyahahaha".
"Namanya gak alay! Emang elo! RohanLopersChayankRohanClaloeh!" Balas Caca. Rohan hanya manyun.

"Apaan sih berisik! Gak liat noh Sion ama Amel ngapain?" Dayat nongol dari taman belakang. Caca, Rohan, Eldwin, dan Raiga nyerbu taman Villa belakang. Melihat momen Sion nyanyi sambil main gitar di depan Amel yang asik mendengarkan. Caca dan Rohan liat-liatan. Eldwin dan Raiga tersenyum jail. 5 menit kemudian.....

"Lucky I'm in love with my brooottthhheeerrr~" Sion melongo menatap ke 5 sahabatnya bernyanyi dan bermain gitar menggoda.

"Heeh! Gak terima recehan! Bubar bubar!" Sahut Sion. "Ini lagi adek gue sesat banget! Pulang sono pulang!"
***

"Eeehh..kaliaaann" Febby memanggil anak-anak STANZA di dekat taman belakang Villa. "Gue cariin taunya di sini! Itu..ada Garden Party. Lo semua isi acaranya ya? Butiran Debu, Galau, Hingga Akhir Waktu, sama Diam Tanpa Kata doang kok".
"Hem....okeoke. Sekarang nih?" Dayat setuju. Febby mengangguk dan menarik Dayat ke belakang panggung.
"Yee-_- kakak gue diculik aja sama si eneng..yuk cabut" Caca mengikuti Febby.

Di depan panggung sudah ada anak-anak STANZAnia Malang yang datang. Salah seorang crew RohaNatic menyodorkan selembar kertas karton dan spidol pada Caca, dan salah satu crew Sionners menyerahkan hal yang sama kepada Amel. Kakak beradik itu menerimanya dengan muka cengo dan bingung.
"Tulisin aja kata2 buat Rohan dan Sion!" Sahut mereka. Caca dan Amel mengangguk.


"Inilah dia....STANZAAAAA!!!!!!" seru Shilla selaku MC Garden Party SMA Merah Putih kali ini. STANZAnia menjerit kencang. Rohan grogi. 'Caca mana sih? Aduuuhh...' pikirnya. Gimana bisa liat? Wong Caca lagi bikin poster buat Rohan.

Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi..., STANZA mulai. Rohan melihat penonton dengan cemas. Tiba-tiba......

"ROHAN MARTHIN SIMBOLOOONNN!!! SEMANGAT!!!! I LOVE YOU, ROHHHAAAAAANNN!!!" jerit seseorang. Cewek itu melambaikan karton yang bertulisakan: RohaNatic???? R O H A N! ♥

'Caca?' Rohan mengenali cewek itu sebagai sahabatnya sendiri. Kata2 pertama yang diteriakan Caca gak sebanding dengan 4 kata terakhir. Sion tersenyum ke arah adiknya.

"Kak Siooonn!!! Kyaaa!!!!! Aku di sini!!!!" Amel mengibarkan posternya sendiri. Sion tersenyum menatap cewek itu. 'Thanks dek' senyumnya.



"Ekhem ekhem! Test test! Yak! Kayaknya STANZA semangat banget nih eee haha" Shilla menggoda STANZA saat mereka selesai menyanyi 'Butiran Debu'.
"Apasih Shill" Sion manyun, dan melirik Amel yang masih menatap dirinya kagum.
"Hehe. Yaudah...STANZA duduk dulu deh! Oke! MC diganti oleh masternya! Caca hehe" Shilla memberikan mic ke Caca dan berbisik kalau habis ini giliran BLINK.

"Oke!!! BlinkStar mana suaranyaaaaa????" Jerit Caca semangat. Rohan yang melihat aksi cewek itu MC di atas panggung tersenyum.

"Sip! sekarang waktunya BLINK tampil nih!" Ujarnya. "Panggil BLINK yuk! B-L-I-N-K BLINK! Ini dia! BLINK dengan Sendiri Lagi!!!!" Caca berteriak dan turun dari panggung.


"Han..." Panggilnya pada Rohan. Rohan menoleh. "Lo keren!".
"Eh? Makasih, Ca hehe" cengir Rohan. Tiba-tiba, dia ditarik Caca ke belakang panggung.

"Han...gue mau jujur" Caca menunduk. Rohan hanya tersenyum.
"Apa?" senyumnya.
"Gue baru ngerti perasaan gue sekarang...kalo...." Caca gugup.
"Apaan sih, Ca?" Sahut Rohan sambil tetap tersenyum.
"Kalo...gue juga sayang sama lo....ngelebihin sahabat" tuturnya pelan tapi pasti.
"Lo serius? Gak..boong?" Tanya Rohan gak percaya.
"Aku...gak boong. Aku...bener2 sayang sama kamu, Han" serunya. "Aku rasa kamu cuman sahabat aku. Aku rasa semua perasaan masih ngestuck ke cakka, taunya gak".

Tibatiba saja, Rohan memeluk Caca lembut.
"What ever you say, where ever your heart are go, I'm still love you" bisiknya pelan. "I just want you feel warm, save, and love".
"I know that. Thanks, Han" Caca tersenyum.

Setelah selesai berkomitmen (?), mereka balik ke tempat STANZA. Anak-anak lain yang melihat hal itu bukan melihat muka mereka, tapi tangan Rohan yang menggenggam erat tangan Caca.
"Jadian???" Sahut Sion. Dayat melongo. Langsung saja Rohan melepas genggamannya.
"Gak...." Caca menahan malu. Pipinya langsung memerah mendengar perkataan Sion.
"Peje!" Raiga menyodorkan tangannya.
"Hehe iya gue jadian ama Caca" Rohan nyengir. Caca melongo menatap cowok di sebelahnya dan menggebuk bahunya pelan.

"Apasih Rohaaannn!!! Bongkar aja kan" Caca manyun.
"Hehee" si cowok nyengir tanpa dosa.

"Hah??? Kakak gue jadian? Peje!" Sahut Amel. Caca mengeluarkan 5 ribu dari dompet birunya.
"Mabu ja ya" sahutnya nyengir. Amel melotot dan manyun. Caca tertawa.
***

Setelah selesai berlibur di Malang, mereka sekolah seperti biasa. Di rumah, Caca menceritakan kalau dia baru saja 'jadian' dengan penyandang gelar 'Si Kacamata Kece Inceran Cewek Merah Putih' a.k.a Rohan kepada ibunya.
"Wah! Jadi anak Mama udah pacaran ya sekarang? Kalo putra kebanggaan mama gimana?" Bu Riska melihat ke arah Dayat yang mojok sambil main HP dengan muka ngenes atau tampang 'kenapa-gue-doang-yang-jomblo-di-keluarga-gue'.
"Zahraaa!!!!!" Dayat berteriak, membuat ke 2 adiknya tertawa tawa kecil.
"Ciyedeeeehhh!! Gak berani nembak cewek! Katanya STANZA!" Goda Caca.
"Eh Simbolon Junior! Mingkem lo!" Galak Dayat. Caca tertawa.
"Udah udah...." Bu Riska menenangkan ke3 anak-anaknya yang beranjak dewasa. "Tidur gih! Udah malem..besok sekolah kan?".
"Caca ama Amel sih maunya cepet cepet tidur...gue mau melek aje! Galau di kamar!" Dayat ngeloyor ke kamar dengan lemas.
"Hujan turuuunn..hujan turuuuunnn~" koor adik adiknya.
***

"Caa..bangun" sahut Bu Riska mendapati anak tengahnya tertidur pulas.
"Apa, Ma?" Caca mengucek-ucek matanya.
"Rohan udah nunggu di bawah jemput kamu sekolah tuh!" Ucap Bu Riska. Caca kaget dan meloncat. Langsung mengambil handuk dan ke kamar mandi.

Di bawah, Rohan dan Dayat lagi ngobrol asik. Amel dan Sion taunya udah pergi daritadi.
"Ini kok kayak resepsi pernikahan sih" Caca bengong menatap kakak dan pacarnya sedang asik ngobrol.
"Hehe. Cabut yuk, Ca!" Rohan menarik Caca.
"Se.....patu, bloon!" Caca menunjuk kakinya yang baru dibungkus kaus kaki, belum sepatu. Rohan hanya nyengir.

"Eh tante" sahut Rohan sambil menyium punggung tangan Bu Riska.
"Iya. Mau anter Caca ke sekolah?" Senyum Bu Riska.
"Iya. Boleh kan, tant?" Izin Rohan.
"Jangan ma! Sampe aku gebet Zahra!" Celetuk Dayat.
"Celeketep!" Sahut Caca. "Oke deh! Aku cabut bye, Mah!".
"Dah sayang..hati-hati ya" Bu Riska melambai ke arah mobil yang dikendarai Rohan.


Di sekolah, anak-anak kaget melihat seorang cewek yang familiar keluar dari mobil Rohan.
"Itu Caca kan? Anak XI-IPA-3 yang ketua cheers itu?" Sahut seorang cewek.
"Maigosh! Dia pacaran ama Rohan? Maigat maigat!!" Yang lain berseru kencang.

Seorang cowok melihat hal itu dengan lesu. 'Gue sayang lo, Ca! Pake banget! Kenapa lo milih Rohan dibanding gue?'.
Share:

Cerpen - Bayiku

cerpen,cerita pendek bayiku,luqman sastra,cerita pendek tentang bayikuBayiku

 karya : Luqman sastra

Sang mentari begitu gagah hari ini, berdiri tegap seakan memanaskan bara di atas kepalaku, aku tergopoh lelah dari lariku atas polisi yang mengejarku, aku tak tahu lagi kenapa kulakukan semua ini, mencuri dompet orang-orang di pasar, tapi aku tak punya sesuatu untuk membiayai istriku yang hamil anak kami yang pertama dan akan melahirkan.
“Ah..biarlah, sudah mendingan aku mencuri dari satu orang dari pada para karuptor yang mencuri uang semua rakyat, lagian janji-janji mereka untuk membantu orang seperti kami tidak juga terjadi” batinku..
Dua jam sudah aku bersembunyi di balik tumpukan keranjang yang memuat sampah-sampah, walaupun bau, aku terpaksa bersembunyi, karena terakhir aku dengar, orang yang tertangkap mencopet dan mencuri di penjara tiga bulan, belum bogem mentah orang-orang sekitar pasar. Apa yang bisa aku berikan pada istriku jika aku di penjara.


Dengan mengendap-endap ku kuberanikan diri muncul dan berjalan seolah tak ada sesuatu yang telah terjadi, ku jalani lorong-lorong sempit menuju rumahku.
Ternyata resiko yang aku ambil terlalu berat untuk mencari uang, jika saja aku tak berhenti kerja tahun lalu, mungkin semua ini tak perlu aku lakukan, tapi PHK itu sungguh membuat beban keluarga kami begitu berat, apa lagi untuk kelangsungan bayi yang kelak akan lahir nanti. Dasar pemimpin perusahaan yang tak tahu diri, kami sudah bekerja dan mengabdi bertahun-tahun tapi tak di beri bonus malah di PHK!
Selagi aku menghitung hasil curian, aku membayangkan bagaimana wajah istriku, pasti dia sangat senang, karena aku lihat uang yang ada dalam dompet ini begitu banyak, ini adalah anak pertama kami dan akan aku rawat benar-benar agar menjadi orang yang bisa aku banggakan dan menjadi orang besar.
Selama ini aku berbohong pada istriku, aku mengaku sudah dapat kerja di tempat teman lamaku, padahal pekerjaanku adalah mencuri, tapi aku pikir, ini adalah cara satu-satunya. Memang benar kalau dulu temanku memberikan aku pekerjaan, yaitu menjadi satpam, sayangnya tempat itu begitu jauh dari rumah, akupun tak punya kendaraan, kalau berjalan mungkin memakan waktu lama, lagian siapa yang akan mengurus istriku yang sedang hamil, aku tak mungkin tega meninggalkannya dalam keadaan seperti ini, apa lagi di rumah cuma tinggal kami berdua.
Sesampai di rumahku, langsung ku cari istriku, ku cari di kamar tidak ada, lalu kucari di dapur, ternyata juga tidak ada,

“ Rani!!!...Rani!!!, di mana kau nduk, aku sudah pulang!!..teriakku memanggilnya.
Namun tetap saja tak ada jawaban, lalu ku cari ke rumah tetangga, tetap saja tidak ada.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini, di mana istriku? Dia sedang hamil Sembilan bulan, tak mungkin pergi jauh-jauh, ah..apa mungkin ke pasar? Sedang uang untuk belanja saja belum aku berikan”
Sehari sudah aku menunggunya, ternyata tidak juga dia datang, aku mencoba mencari lagi ketempat tetangga, namun hasilnya sama saja, mereka tidak tahu. Tiba-tiba ada yang menyapaku.
“ Hei baskoro! sedang apa kau di sini? Apa kau tidak mengantar istrimu pulang kampung? Tadi aku lihat Rani di jemput kedua orang tuanya.” Kata bardi tetanggaku
“Sejak kapan dia pergi?”
“Sejak tadi pagi, mungkin beberapa jam setelah kau pergi”
“ Oh begitu, pantas aku cari tidak ada, apa dia mengatakan sesuatu untuk aku, pesan mungkin?”tanyaku pura-pura tenang
“Wah aku tidak tahu Bas, sepertinya di sedang terburu-buru”
“Apa mungkin ada sesuatu yang terjadi di daerahnya?” batinku
“Ya sudahlah, mending kau susul saja dia di kampungnya”
“Baiklah, aku akan segera kesana,”
Tanpa basa-basi aku langsung masuk rumah dan menyiapkan bekal perjalanan, dalam benakku aku begitu bingung atas apa yang telah terjadi, rumah Rani memang hanya seberang desa, tapi sekalipun dia akan pulang, seharusnya pamit terlebih dulu padaku atau menunggu aku pulang, ini sungguh tidak biasa.

Derik jangkrik mengantarku dalam perjalanan, dan lengking suara anjing peliharaan yang seperti ketakutan juga terdengar. Kunang-kunang juga enggan malu bersinar di bawah langit malam yang mendung, sepertinya akan turun hujan,
Ternyata benar, belum sampai aku ketempat Rani, hujan sudah mulai turun, aku bergegas berteduh di bawah pohon besar yang kira-kira berusia puluhan tahun, segera kuambil sarung dalam tas bawaanku, ku pakai agar tak kedinginan.
Rentetan air tetap saja turun dari daun yang basah, sehingga sama saja kena air tubuhku yang berselimut sarung. Beberapa jam kemudian hujan mulai reda, aku bergegas melipat sarungku yang sedikit basah,
Kulanjutkan perjalananku ke rumah Rani dengan tergesa-gesa, walau jalanan licin tetap saja kupercepat lajuku, jika melihat jalan begitu gelap ini, seperti hutan yang belum terjamah saja, tak ada lampu yang bisa menerangi jalan, terakhir aku lewat sini ada satu lampu yang menerangi jalan, mungkin karena hujan tadi, jadi kongslet. Setelah aku amati di mana dulu letak lampu itu, ternyata sudah tak ada lagi, terlihat bekas tiangnya yang roboh.
Saat aku melihat bekas tiang dan dengan langkah kaki yang cepat, aku tak melihat ada batu yang menyandungku, karena kaget, aku tersandung dan setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi.

Saat aku terbangun, aku merasa kepalaku pusing dan penglihatanku sedikit buram, badanku terasa lemas dan lemah, aku mencoba meraba kepalaku ternyata telah terbungkus sesuatu seperti kain.
Lima menit kemudian aku mulai bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi, aku melihat sekitarku adalah rumah dengan tembok anyaman bambu. Terlihat juga sosok perempuan yang sedang tertidur lelap di sampingku. Setelah aku melihat dengan jelas ternyata Rani Istriku.
“Rani…Rani,” bisikku pelan, karena badanku masih lemah
“Rani.. bangun Nduk!”
Ia terlihat setengah sadar, dan mulai melihatku.
“Mas..!!kamu sudah sadar?” kata dia seperti kaget
“Sebentar mas, aku ambilkan minum dulu”
Diambilnya gelas yang berisi air putih dan membawakan untukku, aku mengumpulakam tenagaku untuk bangun dan bersandar pada tembok.
“ Apa yang terjadi Nduk? Di mana kita? Seingatku, aku menjemput kamu di rumah Orang tuamu”
Dia mulai menceritakan apa yang terjadi, bahwa aku ditemukan sesorang yang sedang lewat di mana aku sedang terjatuh, lalu aku yang saat itu tidak sadar di bawa kedesaku, sesampai di sana, ada orang yang mengetahui siapa aku dan mengantarkan kedalam rumahku. Karena pendarahanku begitu parah, mereka langsung mengantarkanku ke Rumah Sakit.
Istriku yang baru diberitahu keberadaanku, langsung menjenguk dan menemaniku, untuk membayar uang rumah sakit, Istriku menggadaikan rumah kami satu-satunya, walaupun sudah menggadaikan rumah dan mengambil uang hasil copetan yang ada di tasku, uang kami tidak cukup, sehingga istriku meminta meneruskan merawatku di rumah, karena tak ada biayanya. Setelah itu, karena rumah telah di gadaikan, ia mengontrak rumah ini untuk menungguku tersadar.
“Berapa bulan Nduk aku tak sadarkan diri?’ tanyaku
“sekitar 6 minggu Mas”
“ Apa? Selama itukah aku pingsan? Lalu mana bayi kecilku yang kita idamkan selama ini Nduk?”
Rani tiba-tiba menangis dan lari keluar.
“Rani…! Kenapa kau ini? Mana anak kita?”teriakku.
Aku mulai gelisah melihat sikap Rani, aku memaksakan diri untuk berdiri, dengan terengah-engah akhirnya aku bisa berdiri walau tersendal jalanku. Aku melangkah dengan pelan keluar rumah, kulihat Rani menangis di bawah pohon sawo. Ternyata tempat ini berada tak jauh dari rumah orang tuanya, terlihat dari banyak pohon-pohon sawo dan nangka.
Kuhampiri dia dengan pelan, dia duduk dan begitu keras menangis hingga tak mendengar langkahku yang mendekatinya.
“ Nduk, kenapa kau menangis? Di mana anak kita? Apa dia di rumah Ibumu?”
“Ti..tidak mas”
kata-katanya terpatah-patah karena menangis dan kaget melihat aku telah di sampingnya.
“ Lalu di mana anak kita? Dan bagaimana kau dapatkan uang untuk mengontrak rumah ini?
Dia tetap menangis dan menutup mukanya. Aku biarkan ia menangis, dan kutunggu beberapa menit untuk menunggunya berhenti. Aku duduk di sampingnya yang menghadap rumah yang kami huni saat ini. Aku amati benar rumah yang kecil itu, lalu tiba-toba Rani mengucapkan sesuatu.
“Apa mas mau tahu jawabanya?” katanya sambil menangis
“Tentu nduk”
“Bayi yang Mas cari tak ada di rumah ibuku”
“Lalu?”
Rani mulai membisu lagi, seakan enggan mengatakan sesuatu terhadapku. Kupandangi dia dengan berharap-harap.
“Mas…Bayi kita…bayi kita ada di depan Mas” kata Rani dengan tersenggal-senggal karena menangis.
“Apa maksudmu Rani?” kataku kaget mendengar perkataan Rani
“Bayi kita adalah rumah yang ada di depan kita”
“Rani apa maksud kamu” bentakku sambil ku pandang tajam mata Rani

Rani menangis lagi, dengan tersengal-sengal, aku hanya bisa memandang ia yang sedang menangis dengan pandangan yang tajam. Seakan tak percaya yang terjadi.
“Rani.. apakah kau telah menjual anak kita? Rani.. katakan Rani!!!” bentakku
Ku ucapkan pertanyaan itu berkali-kali dan dengan semakin keras, ku ucapkan sambil aku goyangkan badan Rani yang tetap saja menangis dan terus menangis.
Share:

Cerpen - Dua hari sebelumnya

Dua Hari Sebelumnyacerpen,cerita pendek,luqman sastra 


karya : Luqman Sastra
Kepulan asap hitam menyebar seperti mendung diatas langit. Suara deru mesin berlomba untuk mencari siapa yang lebih keras. Wajah-wajah berang terpancar dari para supir angkot dan pengendara lainnya, lantaran udara begitu panas tapi mereka harus terjebak lampu merah pada perempatan jalan. Suara penjual Koran juga mengaung diantara deru suara mesin, berharap akan ada yang membeli.

Di antara hiruk pikuk keadaan di perempatan, ada sesosok wajah yang tak pantas berada di sana, seorang anak perempuan dengan pakaian lusuh, dan berusia sekitar dua belas tahun. Mengacungkan telapaknya kepada para pengendara. Dan sesekali mereka memberikan uang receh.


Siapa yang tak kenal dia, semua penjual dan orang-orang yang sering di perempatan tahu siapa anak kecil itu. Dia adalah Ani, anak dari Suryani si pelacur yang juga sering mangkal di perempatan waktu malam. Ani adalah anak yang sejak lahir tidak diinginkan kehadirannya. Dari dulu ia diperlakukan kasar oleh ibunya.

Wajah Ani hari itu begitu sayu, ia belum sarapan pagi, tangannya terlihat kotor dan kecoklat-coklatan akibat setiap hari mengemis. Setiap lampu perepatan sudah hijau ia berteduh pada pohon di pinggir jalan. Berdiam diri sambil menghitung hasil pendapatannya, sesekali uang itu ia sisakan untuk membeli minuman atau makanan. Tapi karena uang itu sangat sedikit maka ia urungkan niatnya untuk beli makanan, karena ibunya pasti akan memukulnya bila hanya mendapat uang sedikit. Pernah dulu ia membeli makanan walaupun uang yang ia dapat sangat sedikit, sampai dirumah ia pukul dan ditampar oleh ibunya sendiri. Maka ia sangat takut pada ibunya.




Siang itu perut Ani seperti menangis dan menjerit, tenggorokannya seakan tak ada cairan, uang yang ada tak cukup untuk mengobati kelaparan dan kehausan. Apa boleh buat, ia urungkan niatnya membeli makanan. Ketika habis ashar, ia dapati seorang pengendara yang memberikan ia uang cukup besar baginya.

“wah…lima ribu, terima kasih bu…” jawabnya dengan gembira.

Dimasukkannya uang itu dalam kantung celananya. Uang Ani mulai terkumpul banyak, tapi untuk ibunya, uang itu tak cukup banyak. Maka ia dia hanya membeli sebuah minuman untuk mengisi perut laparnya. Dia mulai berjalan ke sebuah warung dekat perempatan. Warung itu sedikit gelap karena cahaya matahari tak masuk, dari jauh sudah terlihat kerumunan orang yang keluar masuk pintu warung. Penjualnya adalah seorang ibu yang berbadan sangat subur, penjual itu bernama Saminah, atau para pelanggan biasa memanggilnya mbok Minah. Dengan cirri khas rambutnya yang diukal, tangannya mulai mencampur-campurkan nasi dengan lauk pesanan pelanggan. Tangannya begitu cepat, lantaran sudah hapal letak-letak lauk. Mbok Minah menjual minuman dan nasi dengan lauk pauk yang bermacam-macam, seperti ikan, tempe, telur, dan lain-lain. Dalam berjualan dia hanya dibantu dua pegawainya. Walau begitu, warung dengan luas sekitar lima meter ini cukup laris.

Mbok Minah sudah kenal dengan Ani, ia tahu kondisi yang di hadapi anak itu. Insting seorang ibunya muncul ketika ia melihat Ani yang terlihat kurus dengan baju yang lusuh. Maka kadang-kadang Ani membeli minuman tanpa membayar. Warung mbok Minah dulu pernah rusak gara-gara banjir yang menggenangi kawasan desa. Dagangannya hanyut tak bisa terselamatkan. Seminggu ia tak berdagang dan mengungsi ke kawasan tinggi.

Selang waktu, akhirnya Ani mampu bertatap dengan Mbok Minah, setelah tadi berdesakan dengan pembeli lain yang mengantri.

“Mbok aku beli es tehnya satu ya!” lantang suara Ani diatara suara lainnya.

Mbok Minah yang merasa sudah akrab dengan suara itu langsung mencari sumber suara.

“Oh..kamu nok, iya sebentar ya! Neng!... buatin es Teh satu!” suruhnya pada pekerjanya.

“Ini nok..!”

“Iya mbok, ini….lima ratuskan?” diulurkan tangannya yang memegang uang lima ratus.

“Alahh.. tak usah nok, disimpan saja, mungkin bisa buat beli keperluan lain” suara simbok terpecah suara pembeli lain yang mulai banyak berdatangan.

“Makasih ya Mbok” jawab Ani yang mulai terdesak dan keluar kerumunan.

Bayangan benda mulai memudar, langit menguning sedikit merah, waktunya Ani pulang kerumah. Di telusurinya jalan yang berliku, tanpa alas kaki ia berjalan melewati jalan setapak yang langsung menuju rumahnya. Rumah ani tak cukup besar, ia dan Ibunya hanya mengontrak, rumahnya sangat kecil. Sebagian besar yang membayar kontrakan adalah Suryani dengan uang hasil melacurnya. Ani begitu kaku ia berjalan, bermuram wajahnya, teman-teman yang menyapanya tak ditanggapi, karena ia sudah benar-benar tak bertenaga. Ani memang terkenal orang yang pendiam, walau begitu, ia tetap senang bermain dengan teman-teman yang lain.

Sampai di dalam rumah, ia masukkan hasil mengemisnya ke dalam sebuah wadah besi bundar yang sedikit berkarat. Sudah semestinya ia meletakkannya di situ, karena ia ingat muka seram ibu ketika ia lupa memberikan uang pada tempatnya. Sesungguhnya dia sudah begitu lapar dan berpikir untuk mengambil uang di kaleng, tapi lagi-lagi ia terngiang wajah ibunya ketika marah.

Sehabis itu, ia membujur pada tempat tidur, berharap rasa laparnya akan hilang bila ia tidur. Hari itu ia akhiri dengan tak makan sama sekali. Padahal sehari sebelumnya ia juga tak makan hanya minum.


Terlalu lelah ia seharian ini, akhirnya ia terlelap atas jeritan cacing-cacing dalam perutnya. Wajah polosnya tertutupi sendu atas takdir yang menimpanya.

Kokok ayam mulai berdendang mengawal mentari yang akan menjelang datang dengan cahaya hangatnya atas malam yang dingin. Ani yang merasa kedinginan terbangun paksa. Ia baru sadar tak memakai selimut, sepertinya ia lupa dan tertidur lelap. ia pun bangun dan sedikit menggigil. Ia mencoba bangun tapi badanya terasa tak ada daya. Hati Ani bingung apa yang harus ia lakukan. Ia tak sanggup berdiri. Apa mungkin karena kemarin tak makan sehingga badanya lemas?tanyanya pada diri.

Beberapa menit kemudian ia merasa bertenaga dan sanggup berdiri. Benar, Ani mulai sanggup berdiri, ia berjalan keluar kamar, dilihatnya dengan mata yang sayu kaleng yang ia isi kemarin sore. Ia rogoh, ternyata sudah tidak ada. Ternyata Suryani tadi malam pulang dan mengambil uangnya. Tapi ia langsung pergi. Tidak aneh Ani melihat keadaan ini. Ia sudah biasa dengan Ibunya yang pulang hanya mengambil uang hasil mengemisnya. Terkadang Ibunya meninggalkan nasi di meja kecil. Tapi selama tiga hari ini tak dapati. Terpaksa ia menahan lapar lebih lama lagi.

Ibunya sudah tak perduli lagi dengan Ani. Semua itu terjadi sejak ayahnya meninggal. Ibunya mulai frustasi dengan kehidupan yang serba kekurangan. Dulu, Suryani dan Ani tinggal dalam rumah sendiri bersama ayahnya. Rumah itu layak ditinggali. Ayah Ani bernama Bardi, dia adalah supir angkot yang bekerja seharian untuk membiayai Suryani yang saat itu mengandung Ani. Bardi dikenal oleh teman-teman pekerjanya seseorang yang baik, wajahnya berjenggot dan berkumis menggambarkan ia begitu bijaksana. Ia dan Suryani menikah sudah sekitar dua tahun, dan ini pertama kalinya mereka mendapati calon bayi yang nantinya akan menjadi anak mereka. Kehidupan mereka berdua sangat sederhana. Tapi tiba-tiba menjelang kelahiran Ani suami yang dibanggakannya meninggal karena kecelakaan. Ia bertabrakan dengan truk yang membawa batuan.

Meninggalnya Bardi menyebabkan Suryani terpaksa membiayai pemakaman dan semua keperluan kandungannya. Ia tak percaya atas apa yang terjadi. Suaminya tak bisa melihat anaknya yang pertama. Entah perempuan atau laki-laki.

Saat itu Suryani benar-benar terpukul, kandungannya sudah sembilan bulan. Dan sebenarnya sudah tinggal menunggu kelahiranya. Suryani bingung dengan keadaan itu. Ia tak punya siapa-siapa. Bayi yang dikandungnya tak ada artinya bila suaminya meninggal.

Untuk biaya kelahiran Ani, ia menjual rumah sederhananya, karena tabungan yang ada selama ini habis untuk biaya penguburan Bardi dan biaya kehidupan sehari-hari. Uang hasil menjual rumah ia bayarkan untuk mengontrak rumah dan sisanya ia gunakan untuk modal usaha berjualan. Saat itu Suryani masih punya semangat ntuk menghidupi bayinya. Akan tetapi ternyata dagangannya tidak laris, maka ia pun menyerah dan berhenti berjualan. Dengan kondisi yang seperti itu Surayani terpaksa berhutang pada seorang laki-laki yang tak begitu dikenalnya. Tapi yang ia dengar ia sanggup memberi uang pinjaman dengan bunga yang ringan. Dia-pun meminjam uang tanpa tahu siapa sebenarnya laki-laki itu.

Waktu untuk membayar hutang telah tiba, Suryani tak sanggup membayar hutang, sekalipun bunga itu kecil. Laki -laki itu pun mengancamnya, tapi ia boleh tidak membayar hutang dengan syarat ia harus mau melayani laki-laki lain. Dengan kata lain ia harus mau melacur. Tanpa daya apapun Suryani hanya bisa mengikuti kemauan laki-laki yang ternyata germo itu. Beberapa bulan telah ia jalani dengan menjual tubuhnya. Anaknya yang masih kecil hanya ia titipkan kepada orang lain dengan bayaran. Terus-menerus sampai sekarang, dan kini Ani yang sudah berumur dua belas tahun.

Satu jam sudah Ani berdiam seperti orang yang ling-lung. Ia mencoba mengumpulkan tenaga untuk berjalan keluar rumah dan selanjutnya pergi ke perempatan. Apa boleh buat. Ia hanya sebuah boneka yang berjalan. Berjalan tanpa pikiran di otaknya. Sampai di perempatan mukanya tetap musam dan muram. Pagi itu rasa lapar yang dialami Ani begitu hebat, badanya bergetar tak karuan. Tanpa sengaja Ia merogoh sakunya, ternyata ada uang seribu rupiah sisa kemarin. Tanpa pikir panjang ia membeli minuman dan sebatang pisang, dengan berharap bisa menggajal perutnya.

Hari seperti biasanya, panas dan penuh debu. Namun, perempatan begitu sepi, lalu-lalang yang terjadi tak seperti biasa. Sampai siang hanya ada beberapa motor yang lewat. Sepertinya ada sesuatu yang membuat para pengendara mobil enggan lewat perempatan. Benar saja, tiba-tiba banyak sekali mahasiswa yang berdatangan, mereka membawa sepanduk penolakan proyek yang kabarnya akan menimbulkan limbah yang beracun. Mereka bernyanyi-nyanyi melantunkan yel-yel penolakan di tengah perempatan. Kehadiran puluhan mahasiswa itu memacetkan jalan, sehingga para pengendara berhenti.

Sementara jalanan yang mulai penuh, Ani tak tahu apa yang dilakukan orang-orang itu, dia tidak tahu apa maksud tulisan pada spanduk itu karena ia tidak pernah sekolah. Dengan terpana melihat kejadian itu. kini ia hanya duduk dengan lemah di bawah pohon dekat perempatan. Ia begitu bingung dengan keadaan yang ada. Keadaan ini memberikan dorongan Ani untuk pulang, karena mungkin akan ada kerusuhan. Ia berniat pulang, namun mengingat hari ini ia belum mendapatkan apa-apa maka lagi-lagi ia urungkan niatnya lantaran terbayang ibunya yang marah.

Hiruk pikuk yang ada di perempatan mulai memanas, sebuah truk yang mengangkut puluhan polisi mulai berdatangan, mereka turun dan membentuk barisan mengusir mahasiswa. Mahasiswa yang tidak terima bercek-cok dengan polisi. Kedua belah pihak seakan siap berperang.

Ani dengan keadaan lemas mencoba berdiri, menghindari konflik yang mulai bermunculan. Sekarang ia benar-benar ingin pulang. Tubuhnya sudah tidak kuat menahan panas matahari. Dengan tergopoh-gopoh ia berjalan menuju rumahnya. Ia tak perduli lagi akan apa yang terjadi nanti ia pulang dan ibunya mendapati ia tak mendapatkan uang. Apa yang akan terjadi diperempatan pun ia tak peduli. Otaknya sungguh tak mampu untuk berpikir. Yang ia tahu hanya pulang dan pulang. Badanya dipaksanya menopang badan yang kurus. Dengan pandangan yang kosong ia berjalan. Sesekali berhenti bersandar pada pohon di pinggir jalan.

Beberapa waktu kemudian ia sampai di rumah, masih dengan tubuh yang sangat lemah ia masuk dalam kamar dan berbaring. Tak sanggup lagi ia berkata apapun bahkan untuk berpikirpun ia tak sanggup. Matanya kosong menatap atap rumah. Nafasnya begitu berat. Tanpa sadar matanya telah tertutup karena lelah yang amat sangat. Dua hari ini begitu melelahkan. Dua hari ini Ani tak makan apapun, setelah sehari sebelumnya ia juga tidak makan. Badanya menjadi sangat kecil dan hitam, tubuhnya yang mungil kini terbaring di atas kasur yang keras. Wajahnya dulu terlihat segar kini terlihat pucat dengan bibir yang pecah. Sepertinya ia sudah di ujung batas. Sepertinya tubuhnya tak sanggup lagi menopang tubuh walau tubuh itu kecil. Hatinya juga sudah tak sanggup mengangkat beban hidup yang telah digariskan. Mungkin ketika ia terbangun lagi nanti, ia akan merasa lebih baik, dimana tak akan ada lagi orang yang memarahinya.

Benar saja, wajahnya mulai membiru dan tubuhnya menjadi dingin. Sekarang ia telah mendapatkan kedamaian atas hari-harinya yang penuh beban. Ia akan aman di sana tanpa suara bising motor dan mobil. Tanpa berdiri di bawah matahari yang membakar kulitnya. Ia tak akan lagi merasa lapar, selamanya.
Share:

Cerpen - Mimpi Terindah Sebelum Mati

cerpen,cerita pendek,cerpan
Mimpi Terindah Sebelum Mati

Cerpen Maya Wulan


RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.


Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.

NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.

Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?

Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.

"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."

Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.

Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.

Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.

Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.

Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"

"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."

"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"

Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.

"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.

"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"

Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.

AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.

Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.

Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?

Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.

Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.

Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***

Sidoarjo-Yogyakarta, 2004-2005


RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.

Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.

NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.

Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?

Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.

"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."

Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.

Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.

Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.

Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.

Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"

"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."

"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"

Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.

"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.

"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"

Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.

AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.

Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.

Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?

Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.

Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.

Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***

Sidoarjo-Yogyakarta, 2004-2005

#repost :  luqmansastra.blogspot.co.id
Share:

Cerber - Seperti Sebuah Bintang Part 18 "Let It Flow"

Cerber

#repost Seperti Sebuah Bintang Part 18 "Let It Flow"
cerber,cerpen,cerpan
 Dengan linangan air mata yang tidak bisa ia bendung lagi, Sivia terduduk dengan lemah didepan ruang ICU menunggu Alvin yang saat itu tengah ditangani oleh seorang Dokter dan beberapa orang suster.
            Suara isak tangis Sivia seakan menjadi backsound dari kegetiran hatinya saat ini. Didalam sana, Si Kunyuk yang super menyebalkan itu tengah berjuang diantara hidup dan mati. Dan Sivia merasa sangat takut dengan segala kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi. Sivia tidak ingin kehilangan Alvin. Masa kah Tuhan begitu tega merenggut kebahagiaan yang baru semalam Sivia raih? Sivia tahu Tuhan tidak akan setega itu. Alvin pasti akan baik-baik saja.
            Dalam hati Sivia terus berdoa dengan satu harapan agar Si Kunyuk itu baik-baik saja. Secara tiba-tiba ingatan Sivia tentang kebersamaannya dengan Alvin berputar kembali diotaknya dan menimbulkan rasa sesak yang semakin menjadi.
            Suara tangis Sivia nyaris pecah. Jika tidak ingat bahwa saat ini ia sedang berada dirumah sakit, mungkin Sivia sudah mengeluarkan tangisannya sekuat ia mampu.
            “Via….” Panggil Cakka dengan cemas seraya duduk disamping Sivia.
            Menyadari kehadiran Sahabatnya itu, Sivia langsung saja membawa dirinya kedalam pelukan Cakka. 10 menit yang lalu Sivia menelpon Cakka dan meminta Cakka untuk segera pergi kerumah sakit tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Merasa cemas dengan keadaan Sivia, Cakka langsung pergi kerumah sakit.
            Sivia meremas kuat-kuat kerah kemeja Cakka dengan suara isakkan tertahan. Cakka menepuk pundak Sivia beberapa kali lantas mulai mengajukan sebuah pertanyaan,
            “ada apa Vi sebenernya?”
            “Hiks…Hiks… Alvin, Kka, Alvin….”
            “Alvin kenapa?”
            “tadi Alvin nyelametin gue dari 2 orang preman, te… terus, pas salah satu dari preman itu mau nusuk gue dari belakang, A…Alvin malah ngedorong gue, A…Alvin nggak sempet nyelametin dirinya… preman itu nu… nusuk A…Alvin, Kka…. Mereka nusuk Alvin, hiks… hiks…” tutur Sivia dengan terbata-bata penuh kepayahan.
            “gue takut Alvin ninggalin gue… gu… gue nggak mau A…Alvin pergi, Kka, nggak mau… hiks…hiks…hiks…” lanjut Sivia dengan isakkan yang lebih kuat lagi.
            Seumur hidupnya belum pernah Cakka melihat Sivia serapuh seperti sekarang ini. Merasa tidak sanggup melihat kondisi Sivia yang benar-benar menyedihkan, Cakka semakin mempererat pelukannya pada Gadis Bawel itu. Detik ini juga Cakka mengerti, bagaimana pentingnya arti hadir Alvin dalam kehidupan Sivia. Meski perih yang ia rasakan, tapi Cakka berusaha untuk ikhlas. Cakka tidak mau rasa egoisnya mengalahkan segalanya.
            “nggak Vi, nggak… Alvin nggak akan kemana-mana. Dia nggak akan ninggalin lo, percaya sama gue…”
            “gue takut, Kka…. Gue takut….”
            “sttt…. Lo percaya aja sama gue, gue pastiin Alvin nggak akan kemana-mana, nggak akan pernah kemana-mana….” Ujar Cakka seraya membelai lembut rambut Sivia.
            Beberapa saat kemudian Cakka melepaskan pelukannya dari Sivia. Ia menuntun Sivia untuk berdiri lalu duduk diruang tunggu. Dengan pelan Cakka mendudukan tubuh Sivia diatas kursi tunggu. Cakka duduk disamping Sivia, ia memegangi wajah Sivia menggunakan kedua tangannya lantas mengusap keringat dingin yang bercucuran diwajah Sivia.
            “nggak usah nangis lagi ya, Vi…?” pinta Cakka dengan lembut. Sivia menggeleng beberapa kali. Cakkapun kembali membawa Sivia kedalam pelukannya.
^_^
            Sekitar 15 menit kemudian, pintu ruang ICU pun terbuka. Ketika melihat seorang Dokter keluar dari ruang ICU, Cakka dan Sivia langsung menghampiri Dokter itu.
            “Dok, gimana keadaan Alvin, Dok…? Alvin baik-baik aja kan Dok?” Tanya Sivia dengan cemas.
            Sang Dokter tersenyum lalu menepuk pundak Sivia beberapa kali.
            “tidak apa-apa, Alvin baik-baik saja. Untung Alvin cepat dibawa kesini, jika tidak mungkin Alvin sudah kehilangan banyak darah. Alvin hanya butuh waktu beberapa hari saja untuk mengeringkan jahitan pada luka diperutnya, dan setelah itu, kondisi Alvin akan kembali seperti semula”
            Sivia langsung menghela nafas lega ketika mendengarkan penjelasan dari Dokter. Dalam hati Sivia langsung bersyukur. Ternyata Tuhan mengabulkan permintaannya. Sivia melirik sejenak kearah Cakka sambil tersenyum.
            “Alvin sudah bisa ditengok kan, Dok?” Tanya Cakka,
            “bisa, tapi setelah Alvin dipindah keruang perawatan”
            “baiklah”
Beberapa saat setelah Dokter pergi….
            “Via, elo udah telfon keluarganya Alvin?”
            Sivia menggeleng, “belom, Kka. Gue nggak punya nomer telfon keluarga Alvin, tapi tadi gue udah minta Dayat buat ngehubungin Mamanya Alvin”
^_^
            Sivia memasuki ruang perawatan Alvin tanpa Cakka. Cakka menolak saat tadi Sivia mengajaknya untuk masuk, Cakka bilang dia ingin menunggu diluar saja. Sivia yang memang sangat ingin melihat kondisi Alvin langsung saja menyetujui perkataan Cakka tadi.
            Cakka hanya tidak ingin mengganggu kebersamaan Alvin dan Sivia. Cakka merasa Alvin dan Sivia butuh waktu untuk berdua saja.
            Sivia duduk ditepi ranjang Alvin seraya menatap wajah Alvin yang saat itu tengah terlelap dengan tatapan nanar. Dibalik sikap cueknya yang sudah mencapai stadium akhir itu, ternyata Alvin sangat memperhatikannya. Bahkan Alvin rela mempertaruhkan nyawanya sendiri demi melindungi Sivia.
            Sivia mengangkat tangan kananya secara perlahan lalu mendaratkannya tepat diwajah Alvin. Air mata Sivia lagi-lagi terjatuh,
            “lo emang begok, Kunyuk! Lo cowok terbegok yang pernah gue kenal sepanjang hidup gue, tapi kenapa gue malah jatuh cinta sama lo, kenapa…?”
            Sivia meraih tangan kanan Alvin lalu mencium punggung tangannya. Sivia melakukannya agak lama,
            “berisik lo!! Nggak tau orang lagi tidur apa?” ucap Alvin yang tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya.
            Sivia mengangkat wajahnya dan melihat kearah Alvin yang saat itu tengah menatapnya sambil tersenyum jahil. Dasar Kunyuk! Sakit-sakit begini masih sempat-sempatnya ia tersenyum jahil seperti itu.
            Sivia buru-buru melepaskan tangan Alvin dari genggamannya lantas membuang mukanya kearah lain.
            “ciyeeee… yang takut banget kehilangan gue” goda Alvin seraya mencolek dagu Sivia. Sivia menepis tangan Alvin dengan cepat dari dagunya.
            “isshh… apaan sih?”
            “tadi aja lo nangis-nangisan, eehh… sekarang pas gue udah sadar lo malah sok cuek kayak gini. Udahlah, nggak usah gengsi kali, sama pacar lo ini juga….”
            “tau ah! Elo nyebelin tau, Nyuk” kata Sivia dengan nada suara sedikit bergetar. Sivia menunduk sedalam-dalamnya. Sivia tidak ingin Alvin tahu bahwa ternyata dia sangat cengeng.
            Alvin memegangi perutnya yang masih terasa sakit lantas mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk. Alvin memegang kedua pundak Sivia lalu menegakkan wajah Sivia hingga berhadapan dengan wajahnya. Alvin tersenyum sangat manis Gadis itu,
            “maafin gue ya udah bikin lo cemas? Gue janji lain kali nggak akan bikin lo cemas lagi, gue janji PRINCESS JELEK….”
            Mendengar ucapan Alvin barusan, Sivia malah sesunggukan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Sivia langsung memeluk tubuh Alvin. Alvin sedikit meringis kesakitan ketika tubuh Sivia menyentuh perutnya yang masih terluka. Tapi bagi Alvin rasa sakit itu belum seberapa. Alvin masih bisa menahan rasa sesakit apapun asalkan Si Jelek ini selalu ada disampingnya.
            “gue tadi takut banget tau nggak, Vin? Gue takut lo bakalan ninggalin gue, gue takut… hiks…”
            “kan tadi gue udah bilang gue akan baik-baik aja. Asal lo percaya sama gue, gue pasti akan selalu baik-baik aja, Vi…”
            Sivia mengangguk berkali-kali sambil menyeka air matanya. Alvin tersenyum kecil lantas mendaratkan sebuah kecupan hangat tepat dipuncak kepala Sivia.
            “gue sayang lo, Kunyuk, gue cinta sama lo, gue nggak mau kehilangan lo. Sampe kapanpun itu gue nggak mau kehilangan lo…”
            “gue juga, Lek… tapi seenggaknya sekarang, Si Cakka Nuraga itu nggak bakalan ngebunuh gue gara-gara elo yang kena tusuk sama preman busuk itu” Sivia tidak sedikitpun menggubris ucapan Alvin.
            Sivia melepaskan sejenak pelukannya dari Alvin. Untuk beberapa lama Alvin dan Sivia saling menatap satu sama lain sambil melemparkan senyuman. Beberapa detik kemudian, Sivia mendaratkan sebuah kecupan kilat tepat dibibir Alvin. Hanya sedetik saja, Siviapun kembali mendaratkan dirinya dalam pelukan Alvin.
            Ketika mendengar ada suara seseorang yang membuka pintu, Alvin dan Sivia langsung mengurai pelukan mereka. Secara bersamaan mereka melihat kearah pintu.
            Tampak seorang wanita cantik yang ternyata adalah Mama Alvin memasuki ruang perawatan Alvin dengan raut wajah yang tidak kalah cemasnya dari raut wajah Sivia tadi.
            “Alvin, kamu nggak apa-apa kan, sayang?” ujar Mama seraya mendekat kearah Alvin. Ketika Alvin dan Mamanya sudah berdekatan, Sivia langsung mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang yang lebih luas lagi untuk Mama Alvin.
            “Alvin nggak apa-apa kok, Ma….” Jawab Alvin dengan santai,
            “kok bisa ketusuk kayak gini sih? Haa…?”
            “ceritanya panjang Ma, kapan-kapan aja Alvin ceritain, yang pentingkan sekarang Alvin udah nggak apa-apa. Oya Ma, kenalin, ini pacar Alvin, namanya Via. Cewek yang selalu Alvin ceritain ke Mama…” ucap Alvin memperkenalkan Sivia pada Mamanya.
            Alvin mengulurkan tangannya dan memberikan kode pada Sivia untuk menyambut uluran tangannya. Siviapun menyambut uluran tangan Alvin lalu memberikan sebuah senyuman untuk Mama Alvin,
            “jadi ini dia ceweknya? Cantik, Vin, kamu pinter nyari cewek….” Pujian dari Mama Alvin itu sukses membuat Sivia tersipu malu.
            “dia jangan dibilang cantik Ma, nanti dia malah gede kepala lagi…”
            Sivia melirik sengit kearah Alvin. Tapi lirikan sengit itu malah dibalas senyuman oleh Alvin. Beberapa saat kemudian, Sivia menyalami tangan Mama Alvin lantas mencium punggung tangan Mama Alvin dengan sopan.
            “kenalin Tante, aku Sivia…”
            “Tante udah tau sayang, Alvin cerita banyak tentang kamu”
            “cerita apa aja Tante?”
            Belum sempat Mama menjawab pertanyaan Sivia, tangan Alvin sudah bergerak cepat menoyor kepala Sivia,
            “kepo lo!”
            “isshhhh…. Kunyuk!! Tante liat sendiri kan gimana nyebelinnya anak Tante yang satu ini?”
            Renata hanya tertawa kecil melihat tingkah kedua orang aneh yang ada dihadapannya saat ini. Tiba-tiba saja Handphone Renata bergetar, ketika melihat nama yang tertera pada layar ponselnya, Renata langsung pamit pada Sivia dan Alvin untuk mengangkat telfon.
            2 menit kemudian Renata kembali lagi,
            “dari siapa, Ma?” Tanya Alvin,
            “dari Pak Zacky, Pak Zacky minta Mama buat balik kekantor, ada rapat soalnya”
            “ya udah, Mama balik aja”
            “kalau Mama pergi siapa yang bakalan jagain kamu disini?”
            Alvin menarik pinggang Sivia hingga berdekatan dengannya,
            “kan ada PEMBANTU Alvin, Ma…” jawab Alvin seraya menunjuk kearah Sivia. Sivia hanya pasrah saja ketika Alvin memperlakukannya seperti itu didepan Mamanya.
            “ya udah kalo gitu. Oya, Vin, Mama telfonin Papa ya?”
            “nggak usah Ma, lagian Alvin juga nggak butuh Papa” ucap Alvin buru-buru,
            “tapi Vin, Papa kamu harus tau”
            “udahlah, Ma. Papa nggak perlu tau, toh sekarang juga Alvin udah nggak apa-apa kok” jawab Alvin keras kepala.
            Mama mendekat kearah Alvin lalu membelai rambut Alvin beberapa kali,
            “ya udah, Mama nggak akan telfon Papa”
            “makasih Ma….”
            “kalo gitu Mama pamit ya? Via, Tante titip Alvin ya? Kalo Alvin nakal jewer saja kupingnya” ujar Mama sedikit bergurau. Sivia hanya mengangguk sambil tersenyum.
^_^
            Jarum jam didinding ruang perawatan Alvin sudah menunjukan pukul 18.30. tapi hingga saat ini Sivia masih setia menunggu Alvin. Tadi Sivia sudah meminta Cakka untuk memberitahu Mamanya bahwa mungkin hari ini Sivia akan pulang telat. Cakka pun sudah pulang terlebih dahulu tanpa menunggu Sivia sekitar sejam yang lalu.
            Sivia duduk disofa seraya menatap Alvin yang saat itu tengah sibuk bermain game dengan menggunakan PSP nya. Sivia menatap Alvin dengan pandangan setengah jengkel.
            “Nyuk, hubungan lo sama Bokap lo nggak baek ya?” Tanya Sivia tiba-tiba. Pertanyaan dari Sivia itu kontan saja membuat Alvin kaget dan menghentikan permainan gamenya sejenak. Alvin menghela nafas panjang,
            “kok lo bisa nanya kayak gitu?” Tanya Alvin balik lalu melanjutkan permainannya yang sempat terhenti.
            “buktinya tadi waktu Nyokap lo mau nelpon Bokap lo dan ngasih tau kalo lo lagi dirawat, lo malah nggak mau”
            Kali ini Alvin melepaskan PSP nya. Sivia yang menyadari ada sebuah perubahan pada air muka Alvin buru-buru menarik pertanyaannya tadi. Sivia takut pertanyaannya itu salah dan malah membuat Alvin marah.
            “lupain pertanyaan gue tadi” ucap Sivia sambil menunduk dalam.
            “sini lo!” kata Alvin seraya mengulurkan tangannya untuk Sivia.
            Sivia mengangkat wajahnya. Ia terdiam sejenak,
            “sini nggak lo?” kata Alvin lebih keras lagi.
            Secara perlahan Sivia bangkit dari duduknya lalu berjalan menghampiri Alvin. Sivia menerima uluran tangan Alvin dan duduk disampingnya. Alvin melingkarkan lengannya pada leher Sivia. Sivia masih menunduk dalam,
            “mungkin sekarang udah saatnya lo tau tentang latar belakang gue. Dan lo musti tau, Vi, selama ini, gue nggak pernah sekalipun cerita tentang masalah pribadi gue kesiapapun, dan sekarang gue udah mutusin buat cerita semuanya keelo, dan itu artinya gue udah percaya sepenuhnya sama lo, lo ngerti?”
            Sivia mengangguk pelan.
            “jadi, 2 tahun yang lalu, Papa gue menggugat cerai Mama gue, hal itu bikin gue dan adek gue Acha sangat shock, apalagi waktu itu Mama gue cinta banget sama Papa gue. Berkali-kali Mama mohon sama Papa buat nggak dicerain, tapi Papa gue nggak mau, dia tetep pada pendiriannya. Akhirnya Mama mengalah, Mama berusaha menerima semuanya dengan ikhlas, sejak saat itulah gue benci sama Papa gue, Vi, gue nggak akan pernah mau maafin dia, nggak akan…”
            “Vin….”
            “dan yang lebih jahatnya lagi, sebulan setelah mereka resmi bercerai, Papa malah sudah punya Wanita lain yang akibatnya bikin Mama gue semakin terpuruk. Mungkin nggak ada satupun yang tahu, bahwa sampe saat ini Mama gue masih sangat mencintai Papa gue… Tapi dalam hati gue, gue sudah bertekad untuk merebut Papa gue kembali dari wanita itu, gue bersumpah Papa gue akan kembali lagi sama Mama gue. Gue mungkin jahat Vi, tapi gue juga ngelakuin semua ini demi Mama, Mama yang selama ini udah berkorban banyak buat gue, Mama yang udah mempertaruhkan nyawanya saat ngelahirin gue….”
            “gue ngerti perasaan lo, Vin, karna gue juga udah pernah ngerasa kehilangan seperti apa yang lo rasain. Gue sangat mengerti Alvin…”
            Beberapa saat kemudian, Alvinpun langsung memeluk erat tubuh Sivia. Dalam pelukan Sivia, Alvin merasa semua beban yang selama ini memberatkan setiap langkahnya terasa begitu ringan. Alvin tidak pernah tahu sejak kapan ia merasakan hal ini, tapi yang jelas, berada disamping Sivia membuat Alvin kuat menghadapi segalanya.
^_^
            Sivia tertidur pulas disamping Alvin dengan posisi duduk. Sivia melipat kedua tangannya ditepi ranjang Alvin sambil menenggelamkan wajahnya. Alvin membuka kedua matanya dan melihat Sivia yang saat itu tengah terlelap. Alvin mengangkat tangan kanannya lalu mendaratkannya tepat diatas kepala Sivia,
            “lo pasti capek banget ya hari ini, Vi? Maafin gue ya? Ini semua gara-gara gue” ujar Alvin pelan seraya membelai lembut rambut Sivia.
            Beberapa saat kemudian, Alvin teringat akan sesuatu. Ia meraih Handphone milik Sivia yang terletak diatas meja kecil yang berada tepat disamping tempat tidurnya. Alvin membuka handphone Sivia dan mencari nama seseorang pada contack listnya. Setelah menemukan nama ‘Cakka Nuraga’ Alvinpun mengetik sebuah pesan singkat untuk Cakka,
==========================
Your message To: Cakka Nuraga
Lo jemput Via sekarang juga
Dirumah sakit.
==========================
^_^
            “Kka, hari ini gue nggak kesekolah ya?” ucap Sivia pada Cakka sebelum ia meniki motor Cakka.
            “ya terus lo mau kemana?”
            “gue mau nemenin Alvin dirumah sakit, Kka. Kan kasian dia sendiri”
            “tapi, Vi masa lo mau bolos lagi? Ini udah 2 kali lo bolos, sekali lagi lo bolos lo bakalan dapet surat panggilan orang tua”
            “Kka, plissss…. Sekali ini aja! Gue janji setelah gue nggak akan bolos lagi, plisss Kka, ato bilaperlu lo bikinin gue surat keterangan sakit deh biar nggak alpa. Ya Kka? Plis bantuin gue, plis, plis, plisss…..” ucap Sivia benar-benar memohon dihadapan Cakka. Kali ini Sivia benar-benar berharap Cakka akan mau membantunya.
            Beberapa detik menunggu jawaban Cakka dengan perasaan yang tidak karuan, Cakkapun terdengar menghela nafas panjang lantas mengangguk dengan sangat terpaksa. Sivia tersenyum senang dan langsung menghambur kedalam pelukan Cakka,
            “hwaaa…. Cakka makasih yaa? Lo emang sahabat gue yang paling pengertian tau nggak?”
            “ya ya ya…. Tapi elo harus janji ini yang terakhir, karna setelah ini gue nggak akan mau ngebantuin lo lagi”
            “iya Kka, iya, gue janji….” Ucap Sivia dengan bersungguh-sungguh.
^_^
            “Kunyuuukkkkk!!!” Panggil Sivia sambil membuka pintu ruang perawatan Alvin.
            Alvin yang saat itu tengah membaca sebuah buku langsung mengangkat wajahnya dari buku lalu melihat kearah Sivia dengan pandangan tidak suka.
            “ngapain lo disini pagi-pagi?” Tanya Alvin yang seakan-akan tidak menerima kehadiran Sivia.
            Sivia mengerucutkan bibirnya lalu berjalan perlahan menghampiri Alvin,
            “gue kesini mau nemenin lo”
            “berarti lo nggak sekolah dong hari ini? Lo bolos??”
            “yaaaa… terpaksa” jawab Sivia dengan raut wajah sok lugu.
            Tanpa berkata apa-apa lagi pada Sivia, Alvin langsung saja melayangkan sebuah toyoran yang lumayan keras tepat pada kening Sivia. Sivia meringis pelan sambil mengusap keningnya beberapa kali,
            “awww… sakit Kunyuk!”
            “belagu banget lo pake nggak masuk sekolah segala? Udah ngerasa pinter lo? Haa….?”
            “iiihhh…. Lo itu kenapa sih, pacar dateng bukannya seneng malah marah-marah, aneh tau nggak?”
            “lebih aneh lagi itu lo…”
            “elo tuh yang aneh….”
            “pake nyahut lagi lo. Mau gue sumpel tuh mulut?”
            Sivia kembali memanyunkan bibirnya. Dasar Kunyuk tidak tahu terimakasih! Masih untung Sivia rela bolos sekolah Cuma demi menemaninya dirumah sakit, bukannya mengucapkan terimakasih malah marah-marah tidak jelas. Kalau tahu akan seperti jadinya, Sivia tadi pasti akan mengikuti ucapan Cakka untuk tidak bolos hari ini.
            “sebagai ganjarannya karna lo bolos hari ini, lo harus masak nasi goreng buat gue!”
            “WHAAATTTT……??” Kaget Sivia. Memangnya Sivia mau memasak dimana? Kan tidak lucu jika Sivia harus pulang hanya untuk memasak nasi goreng buat Kunyuk ini.
            “kenapa kaget? Lo nggak mau??”
            “bukannya gitu Nyuk, Cuma aja gue mau masak dimana? Bahan-bahannya juga harus nyari dimana? Masa iya gue harus pulang? Bisa-bisa gue digantung Mama gue kalo sampe dia tau gue bolos”
            “itu sih derita lo!” kata Alvin cuek.
            “gue beliin aja ya dirumah makan depan? Gue yang bayar deh” rayu Sivia berusaha merubah fikiran Alvin.
            Alvin menggeleng dengan mantap,
            “nggak bisa! Gue maunya nasi goreng buatan lo!! Ngerti?”
            “tapi, Vin…..”
            “SEKARANG….”
            “Vin….”
            “lima… empat, tiga, du—“
            “iya, iya…. Dasar lo ngerjain gue aja bisanya” kata Sivia pasrah.
            Sivia keluar dari ruang perawatan Alvin sambil membanting pintu dengan keras. Alvin sedikit kaget tapi merasa puas juga karna sudah berhasil mengerjai Si Jelek itu entah untuk yang keberapa kalinya.
            “mampus lo!!” gumam Alvin pelan.
^_^
            Sivia mondar mandir didepan gedung rumah sakit memikirkan dimana ia harus memasak nasi goreng untuk Alvin tanpa harus pulang kerumahnya. Setelah cukup lama befikir, Sivia tidak juga menemukan sebuah ide.
            Ketika secara tiba-tiba arah pandangan matanya tertuju pada sebuah Rumah Makan yang terletak tepat disebrang rumah sakit, Sivia seakan mendapat sebuah pencerahan. Sivia tersenyum licik lalu melangkah  dengan yakin kearah rumah makan itu.
^_^
            15 menit kemudian Sivia kembali keruang perawatan Alvin dengan membawa sepiring nasi goreng hangat khusus untuk Alvin.
            “Hay…. Kunyuukkkk!! Pacar lo yang super kece ini balik lagi dengan membawa sepiring nasi goreng special buat elo…” Ucap Sivia tanpa rasa berdosa sedikitpun.
            Sivia duduk dikursi yang ada disamping tempat tidur Alvin sambil menyodorkan sepiring nasi goreng itu dihadapan Alvin. Alvin menatap sepiring nasi goreng itu dengan tatapan curiga. Sepertinya ada yang tidak beres. Fikir Alvin.
            “kok malah ditonton? Dimakan dong sayang…” ucap Sivia dengan nada sok manis. “atau…. Apa perlu gue supain? Sini gue suapin” lanjut Sivia sambil menyendokan sesendok nasi goreng itu untuk Alvin.
            Alvin menahan tangan Sivia yang hendak menyuapinya seraya menggeleng beberapa kali,
            “nggak,  gue nggak mau” tolak Alvin mentah-mentah,
            “lho, kenapa??”
            “lo fikir gue begok? Gue tau ini bukan nasi goreng buatan lo. Jadi jangan coba-coba buat nipu gue”
            Sivia langsung menunduk putus asa.
            “sekarang lo keluar lagi, dan masak nasi goreng buat gue”
            Hening untuk beberapa saat. Satu detik, dua detik, tiga detik, dan…….
            “Hwaaaaa….. Mamaaaaaaa!! Alvin jahaaattttt…. Hiks… hikss….”
            Sivia menangis sejadi-jadinya dihadapan Alvin. Melihat Sivia yang menangis seperti anak kecil Alvin terlihat kebingungan. Ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
            “Heh, jelek! Kenapa lo malah nangis??”
            “HIKS… HIKS… HIKS… LO JAHAT BANGET SAMA GUE?? Gue kan sekarang udah jadi pacar lo bukan jongos lo lagi, kenapa lo nggak berubah-berubah juga? Hik… hiks… hikss….” Isakkan Sivia semakin kuat terdengar dan membuat Alvin semakin kebingungan.
            “aduh… lo jangan nangis lagi kek! Jangan nangis nangis lagi yaa? Nanti gue beliin cokelat”
            Sivia langsung terdiam seketika. Ia menyeka air matanya lalu melirik kearah Alvin,
            “beneran yaa??”
            Alvin menghela nafas panjang dan dan memasang raut wajah bosan.
            “nih cewek udah umur berapa sih??” ujar Alvin dalam hati…
                        BERSAMBUNG….
 #repost by duniasukasukamimy.blogspot.co.id   /
Share:

puisi dan kamut

ARTO MELLERI Adrienne Su Ahmet Muhip Diranas Ahmet selcuk ilkan Alexander Goldstain Alice Hoffman Amanda Hawkins Amel Hamdi Smaoui Amrita Pritam Andre duhaime Andre girrad Andrea Hirata Anthony Greer Arhippa Perttunen Arnold bennett Arthur Rimbaud Asik Veysel Asrul Sani Ataol Behramoglu Atilla ilhan Aziz Nesin BUMMEI TSUCHIYA Bai Juyi Barth martinson Ben Jonson Benjamin Franklin Best Mothers Poems Bisa Yucel Bob Micthley Brandee Augustus Brigitte DORFINGER Cahit Kulebi Can Yucel Carol Lebel Cemal sureya Cenk sibernetika Cerber Cerpen Cerpen Amrita Pritam Chiyo Fukumasuya Christopher Marlowe Chrystele Goncalves Claire Bergeron Claire McQuerry Cornelius Eady Cui Hao Cynth'ya Reed D.H.Lawrence DAKOTSU IIDA Daftar Isi Tanka dari Patrick dan Daniele Dale carnegie Daniel Birnbaum Daniele Duteil Dave Austin Deborah Landau Deepak Chopra Deklam Dominique Dictionary of Tolerance and Citizenship Dominique Chipot Dorothea lasky Douglas wj Du Fu Du Mu Edip Cansever Edmund Spenser Elias Lonnrot Elizabeth alexander Ella Wheeler Wilcox Emha Ainun Najib Emoi et toi Erin Elizabeth Ernest Hemingway Eva Gerlach F William Broome FUMI SAITO Fazıl Husnu Daglarca Feridun Duzagac Florence Murphy Francisco X alarcon Friedrich HELLER Gail Mazur Gaius Valerius Catullus Gao Qi Gaston Miron Gazel japanese poem-poetry Geoffrey Chaucer George Wither Ginette chicoine Glen D lovelace Gretta B palmer Gwendolyn brooks HANNU SALAKKA HARRI NORDELL HEKIGODO KAWAHIGASHI Haibuns Haiku Haiku adalah puisi pendek Hakan savli Han Yu Han Yuefu Hart Crane Heidelore RAAB Heidi VAN SCHUYLENBERGH Henry Howard Holbrook Jackson Howard nemerov Hugo dufort Ingrid GRETENKORT Ishikawa Tabuboku Isolda Stefanel Isolde Helga SCHÄFER Izumi shikibu Mikki JARI TERVO James Whitcomb Riley Jane Kenyon Janick Belleau Jean Dorval Jeanne Painchaud Jennifer Foerster Joan Naviyuk Kane John Domino John Donne John Keats John Skelton John townsend Jorge Luis Borges Jorie Graham Julien Gargani June Jordan Jutta CZECH KARI ARONPURO KENKICHI NAKAMURA KIRSTI SIMONSUURI KUNIYO TAKAYASU KYOSHI TAKAHAMA Kamut galau Kata Mutiara Rohani Kay P M- Devenish Kisah Tidak Murni KoKinshu Kobayashi Issa Kumpulan Kata Kata Galau Kumpulan Puisi chairil Anwar Kumpulan cerita rakyat Kumpulan kata Mutiara Kumpulan puisi untuk ibu bahasa inggris Leland waldrip Li Bai Li Qiao Li yu Lily Twinkle Liu Zongyuan Louis macneice Luciano R.mendes Luo Binwang Lydia Maria Child Lynda Hull MIKIKO NAKAGAWA MIZUHO OTA MOKICHI SAITO Margarita Engle Margret BUERSCHAPER Marilyn L taylor Marry Hickman Martin BERNER Mary Jo Bang Mary Sidney Herbert Matro Matsuo Batsho Maurus Young May Yang Mei yaochen Meng Jiao Meng haoran Michael Drayton Michel berthelin Michele Wolf Mildred Barthel Mitos dan Realitas Monika Sok Monika Thoma-Petit NOVEL Nathalie Dhenin Nazım Hikmet Nikki giovani Nobuyuki Kobayashi O Ontrei Malinen Opaline allandet Orhan Veli Kanik Oshikochi no Mitsune Ouyang Xiu Ozdemif Asaf Ozdemir Asaf POEM PUISI ANAK ANAK PUISI DAN KAMUT PUISI REMAJA Pathways to the Other Patrici Smith Patrick Kavanagh Patrick Simon Petra SELA Philip Sydney Philippe Quinta Puisi Amrita Pritam Puisi Cinta Puisi Gombal Puisi India Puisi Islami Puisi Kemerdekaan Puisi Lingkungan Sekolah Puisi Malaysia Puisi Persahabatan Puisi Tahun Baru Puisi Turki Puisi bahasa korea Puisi dari turki Puisi jawa RENKU REVIEW Robbie Klein Robert Herrick Robertinus Agita Ruth Stone Ryokan SANKI SAITO SEISENSUI OGIWARA SHUOSHI MIZUHARA SUJU TAKANO Sage Sweetwater Samuel Daniel Sandrine Davin Seamus Heaney Sejarah Puisi Cina Sejarah Puisi Jepang Sezen Aksu Sharon Wang Shedding light Shiki Sir Henry Wotton Sir Philip Sidney Sketsa perasaan Soner arica Stevens curtis lance Su shi Sudeep Sen Sunay Akin Supardi Djoko Damono Syafira Pritami Angelina Sydney J harris TAEKO TAKAORI TAKAKO HASHIMOTO TIINA KAILA TSUTOMU YAMAGUCHI Taigi Tanka Tao Qian Taufik Ismail Tessa Micaela The song of hiawatha Thomas Campion Thomas Nashe Thomas Wyatt Tom Hyland Umit Yasar Oguzcan W.B yeats WS Rendra Wallace Stevens Wang Wei Werner Erhard Wilfred A peterson William Dunbar William Shakespeare YAICHI AIZU Yamamoto Eizo Yannis ritsos Yasuko Nagashima Yataro Yavuz Bulent Bakiler Yilmaz Erdogan Yu Hsi Yue Fu Zen Ikkyu Zuhal Olcay adrienne rich alexander pope anna baca puisi gratis cerita bersambung cerita panjang cerita pendek cerpan egypt poems finlandia francis gary soto george Herbet george friedenkraft james george james wright jessie e.sampter john Milton john milton john rollin ridge joseph addison joseph brodsky kalevala kamut terbaik kat kata kata sedih kumpulan pusaka linda gregg longfellow luqman sastra makoto kemmoku marc jampole pengertian kamut penulis indonesia phillip freneau phillis wheatley poem from egypt poem turkh puisi puisi alam puisi bahasa inggris puisi finlandia puisi french puisi galau puisi guru dan siswa puisi inggris puisi inggris translate indo puisi irlandia puisi jepang puisi kamut terbaru puisi kehidupan puisi lingkungan puisi motivasi puisi pendek puisi sedih dan galau puisi sedih dan galau terbaru puisi tentang mesir puisi teraneh puisi terkocak sam levenson sam sax sir john suckling ulanpurnamasari unknown william Blake william wordsworth witter Bynner

KUMPULAN PUISI

10 best america poem 10 poem chines 10 puisi irlandia 10 puisi mesir 100 best sad poems 1343 1400 1503 1542 1554 1564 1567 1572 1586 1591 1593 1608 1616 1620 1631 1633 1637 1674 1688 1703 1709 1744 1753 1757 1763 1769 1771 1775 1780 1784 1795 1821 1827 1840 1855 1867 1881 1885 1889 1915 1916 1930 1932 1936 1946 1947 1954 1955 1962 1968 1995 1996 1999 2002 2003 2006 2011 2014 2016 28 februari adrienne rich Adrienne Su Ahmet Muhip Diranas Ahmet selcuk ilkan Alexander Goldstain alexander pope Alice Hoffman Amanda Hawkins Amel Hamdi Smaoui Amrita Pritam Andre duhaime Andre girrad Andrea Hirata anna Anthony Greer Arhippa Perttunen Arnold bennett Arthur Rimbaud ARTO MELLERI Asik Veysel Asrul Sani Ataol Behramoglu Atilla ilhan Aziz Nesin baca puisi gratis Bai Juyi Barth martinson Ben Jonson Benjamin Franklin Best Mothers Poems Bisa Yucel Bob Micthley Brandee Augustus Brigitte DORFINGER BUMMEI TSUCHIYA Cahit Kulebi Can Yucel Carol Lebel Cemal sureya Cenk sibernetika Cerber cerita bersambung cerita panjang cerita pendek cerpan Cerpen Cerpen Amrita Pritam Chiyo Fukumasuya Christopher Marlowe Chrystele Goncalves Claire Bergeron Claire McQuerry Cornelius Eady Cui Hao Cynth'ya Reed D.H.Lawrence Daftar Isi Tanka dari Patrick dan Daniele DAKOTSU IIDA Dale carnegie Daniel Birnbaum Daniele Duteil Dave Austin Deborah Landau Deepak Chopra Deklam Dominique Dictionary of Tolerance and Citizenship Dominique Chipot Dorothea lasky Douglas wj Du Fu Du Mu Edip Cansever Edmund Spenser egypt poems Elias Lonnrot Elizabeth alexander Ella Wheeler Wilcox Emha Ainun Najib Emoi et toi Erin Elizabeth Ernest Hemingway Eva Gerlach F William Broome Fazıl Husnu Daglarca Feridun Duzagac finlandia Florence Murphy francis Francisco X alarcon Friedrich HELLER FUMI SAITO Gail Mazur Gaius Valerius Catullus Gao Qi gary soto Gaston Miron Gazel japanese poem-poetry Geoffrey Chaucer george friedenkraft george Herbet George Wither Ginette chicoine Glen D lovelace Gretta B palmer Gwendolyn brooks Haibuns Haiku Haiku adalah puisi pendek Hakan savli Han Yu Han Yuefu HANNU SALAKKA HARRI NORDELL Hart Crane Heidelore RAAB Heidi VAN SCHUYLENBERGH HEKIGODO KAWAHIGASHI Henry Howard Holbrook Jackson Howard nemerov Hugo dufort Ingrid GRETENKORT Ishikawa Tabuboku Isolda Stefanel Isolde Helga SCHÄFER Izumi shikibu Mikki james george James Whitcomb Riley james wright Jane Kenyon Janick Belleau JARI TERVO Jean Dorval Jeanne Painchaud Jennifer Foerster jessie e.sampter Joan Naviyuk Kane John Domino John Donne John Keats john milton john Milton john rollin ridge John Skelton John townsend Jorge Luis Borges Jorie Graham joseph addison joseph brodsky Julien Gargani June Jordan Jutta CZECH kalevala Kamut galau kamut terbaik KARI ARONPURO kat kata kata sedih Kata Mutiara Rohani Kay P M- Devenish KENKICHI NAKAMURA KIRSTI SIMONSUURI Kisah Tidak Murni Kobayashi Issa KoKinshu Kumpulan cerita rakyat Kumpulan Kata Kata Galau Kumpulan kata Mutiara Kumpulan Puisi chairil Anwar Kumpulan puisi untuk ibu bahasa inggris kumpulan pusaka KUNIYO TAKAYASU KYOSHI TAKAHAMA Leland waldrip Li Bai Li Qiao Li yu Lily Twinkle linda gregg Liu Zongyuan longfellow Louis macneice Luciano R.mendes Luo Binwang luqman sastra Lydia Maria Child Lynda Hull makoto kemmoku marc jampole Margarita Engle Margret BUERSCHAPER Marilyn L taylor Marry Hickman Martin BERNER Mary Jo Bang Mary Sidney Herbert Matro Matsuo Batsho Maurus Young May Yang Mei yaochen Meng haoran Meng Jiao Michael Drayton Michel berthelin Michele Wolf MIKIKO NAKAGAWA Mildred Barthel Mitos dan Realitas MIZUHO OTA MOKICHI SAITO Monika Sok Monika Thoma-Petit Nathalie Dhenin Nazım Hikmet Nikki giovani Nobuyuki Kobayashi NOVEL O Ontrei Malinen Opaline allandet Orhan Veli Kanik Oshikochi no Mitsune Ouyang Xiu Ozdemif Asaf Ozdemir Asaf Pathways to the Other Patrici Smith Patrick Kavanagh Patrick Simon pengertian kamut penulis indonesia Petra SELA Philip Sydney Philippe Quinta phillip freneau phillis wheatley POEM poem from egypt poem turkh puisi puisi alam Puisi Amrita Pritam PUISI ANAK ANAK puisi bahasa inggris Puisi bahasa korea Puisi Cinta PUISI DAN KAMUT Puisi dari turki puisi finlandia puisi french puisi galau Puisi Gombal puisi guru dan siswa Puisi India puisi inggris puisi inggris translate indo puisi irlandia Puisi Islami Puisi jawa puisi jepang puisi kamut terbaru puisi kehidupan Puisi Kemerdekaan puisi lingkungan Puisi Lingkungan Sekolah Puisi Malaysia puisi motivasi puisi pendek Puisi Persahabatan PUISI REMAJA puisi sedih dan galau puisi sedih dan galau terbaru Puisi Tahun Baru puisi tentang mesir puisi teraneh puisi terkocak Puisi Turki RENKU REVIEW Robbie Klein Robert Herrick Robertinus Agita Ruth Stone Ryokan Sage Sweetwater sam levenson sam sax Samuel Daniel Sandrine Davin SANKI SAITO Seamus Heaney SEISENSUI OGIWARA Sejarah Puisi Cina Sejarah Puisi Jepang Sezen Aksu Sharon Wang Shedding light Shiki SHUOSHI MIZUHARA Sir Henry Wotton sir john suckling Sir Philip Sidney Sketsa perasaan Soner arica Stevens curtis lance Su shi Sudeep Sen SUJU TAKANO Sunay Akin Supardi Djoko Damono Syafira Pritami Angelina Sydney J harris TAEKO TAKAORI Taigi TAKAKO HASHIMOTO Tanka Tao Qian Taufik Ismail Tessa Micaela The song of hiawatha Thomas Campion Thomas Nashe Thomas Wyatt TIINA KAILA Tom Hyland TSUTOMU YAMAGUCHI ulanpurnamasari Umit Yasar Oguzcan unknown W.B yeats Wallace Stevens Wang Wei Werner Erhard Wilfred A peterson william Blake William Dunbar William Shakespeare william wordsworth witter Bynner WS Rendra YAICHI AIZU Yamamoto Eizo Yannis ritsos Yasuko Nagashima Yataro Yavuz Bulent Bakiler Yilmaz Erdogan Yu Hsi Yue Fu Zen Ikkyu Zuhal Olcay

iBook

Weekly Posts

Copyright © puisi japan | Powered by Blogger